Semenjak Islam masuk di pulau jawa sekitar tahun 1416, telah muncul sebuah peradaban baru. Sebagaimana disebutkan oleh HJ.Benda dalam (Suryo,2000) bahwa proses islamisasi di Jawa telah melahirkan peradaban santri (Santri Civilization). Dijelaskan dalam beberapa buku bahwa kata santri berasal dari bahasa sansekerta shantri yang berarti ilmuwan hindu yang pandai menulis. Jadi secara historis gerakan santri sudah mulai ada di masa penjajahan, bahkan santri mempunyai peran besar dalam membangun nasionalisme dan mengusir para penjajah, artinya kekuatan santri dalam peta gerakan di Indonesia sangatlah diperhitungkan.
Selama ini sosok santri digambarkan sebagai sosok yang mempunyai kepribadian sholih (baik ritual maupun sosial), berawawasan inklusif, toleran, humanis, kritis dan berorienttasi pada komitmen kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan (al-musawah). Dalam kaitannya dengan pergeseran kekuatan sosial gerakan santri di Indonesia akhir ini, hendaknya masih dilihat sebagai proses pembentukan salah satu kekuatan terbesar. Potensi yang dimiliki oleh santri selama ini dinilai masih belum tereksplorasi dan termanfaatkan dengan baik dalam membangun bangsa, padahal santri merupakan individu-individu pilihan masyarakat yang diharapkan mampu berbuat sesuatu demi kebangsaan dan kesejahteraan umat
Dalam sejarahnya santri mempunyai beberapa peran penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Pertama santri berperan sebagai pelaku sosial budaya, yaitu sebagai bagian yang ikut serta dalam pembentukan masyarakat yang ideal. Kedua sebagai pelaku sosial politik, dalam hal ini santri ikut andil dalam penciptaan kondisi moral yang akan selalu melakukan kontrol kehidupan sosial politik.
Dalam usaha mempertahankan eksistensinya, santri mempunyai sebuah pegangan yang selama ini dijaga yaitu “al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-ahd bi jadid al-ashlah” (mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi atau budaya baru yang lebih baik) pegangan itu merupakan model pesantren dalam mengembangkan harmoni yang sehat dengan budaya lokal, meskipun selama ini masih belum berjalan dengan sempurna. Untuk menjaga harmonitas tersebut, pesantren menjadi akomodatif terhadap budaya setempat dan kurang memiliki greget pengembangan, sedangkan penghormatan terhadap tradisi dan pemikiran masa lalu membuat pesantren merasa gamang untuk mempelopori perubaan dan pengembangan budaya atau tradisi baru yang lebih konstruktif.
Akan tetapi dalam perjalanannya, santri seringkali dihadapkan dengan image kolot atau tradisional atau bahkan ’wong ndeso’ yang selalu jauh dari jangkauan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini nampaknya mau tidak mau masih bisa diterima, dikarenakan ada beberapa komunitas santri yang memang menganggap bahwa beberapa ilmu pengetahuan dan tekhnologi kurang sesuai dengan nilai-nilai ajaran yang mereka yakini. Disinilah barangkali yang akhirnya menjadi titik kelemahan dari santri.
Dengan sejarah yang seperti diatas, nampaknya tidak salah jika santri melakukan beberapa pengembangan baik secara pribadi ataupun kelompok, yaitu santri tidak hanya berkutat dalam masalah-masalah fiqhiyah saja, namun sekarang santri sudah berani berkecimpung di luar kehidupannya, yaitu dalam gerakan-gerakan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang mungkin sebelumnya tabu bagi mereka. Dengan begitu santri tidak lagi dianggap sebelah mata, pengambilan peran ini adalah merupakan bagian implementasi dari spiritualitas, intelektualitas dan moralitas yang dimiliki oleh kaum santri
Kita bisa mengambil contoh dari berbagai perkembangan santri di Kudus. Dalam bidang pendidikan, santri telah mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh berbagai disiplin ilmu. Lembaga pendidikan dimana para santri belajara juga telah memberikan pendidikan sesuai dengan kebutuhan jaman sekarang ini. Salah satu efek positifnya adalah santri telah mampu menguasai beberapa ilmu pengetahuan (non fiqhiyah) dan teknologi, bahkan dalam beberapa kesempatan santri telah mampu bersaing dengan berbagai pihak yang memang selama ini lebih menekankan pada pendidikan umumnya. Selain itu, dibidang sosial budaya santri telah mampu menjadi ikon yang dipercaya masyarakat untuk menjaga keberadaan budaya lokal, sebagai misal adalah disaat masyarakat dijejali dengan budaya budaya populer yang tiap harinya mereka dapatkan dibeberapa media masa, santri dalam hal ini yaitu komunitas santri tetap eksis dengan budaya lokalnya yaitu seni rebana. Kita bisa lihat secara nyata di kota Kudus, ketika ada sebuah kegiatan yang dihadiri oleh salah satu group rebana yang telah dikenal oleh masyarakat kudus, maka sudah tidak menjadi rahasia lagi ratusan bahkan ribuan masyarakat akan dating berbondong-bondong untuk menghadirinya.
Dari berbagai fenomena itulah, nampaknya keberadaan santri menjadi sangat penting di masyarakat. Dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, santri menjadi harapan dan tumpuan masyarakat dalam menjaga nilai – nilai lokal yang selama ini dimiliki masyarakat, disamping itu masyarakat akan melihat santri sebagai komunitas yang bisa jadi menjadi rujukan ketika persoalan-persoalan baru muncul dihadapan mereka. Masyarakat nampaknya berharap penuh dengan keberadaan santri dalam usaha mewujudkan cita-cita masyarakat yaitu terciptanya sebuah kehidupan yang mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan toleransi. Karena itulah cita-cita yang telah digagas oleh para pendahulu-pendahulu kita.
Bahan Bacaan
Rahardjo, M. Dawam, Editor Pergulatan Dunia Pesantren (Jakarta;LP3ES, 1985,)
Suryo, Joko, Tradisi Santri Dalam Historiografi Jawa: Pengaruh Islam di Jawa. Makalah Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa.2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar